Selasa, 02 Agustus 2011

The Psychedelic Jablay

The Psychedelic Jablay
“Tulisan pendek ini hanyalah sebuah pengantar bagi penikmat street art di Indonesia untuk mengapresiasi salah satu street artist Ibu Kota: Bujangan Urban.”

Membicarakan fenomena street art di Jakarta, bahkan lebih luas lagi di Indonesia, seperti membicarakan sistem transportasi yang bobrok, sistem pendidikan yang kacau-balau, krisis ekonomi, lubang-lubang di tengah jalan lintas Sumatera yang menganga, hingga kekerasan atas nama agama yang akhir-akhir ini terjadi. Fenomena-fenomena tersebut ada, namun tidak pernah ditempatkan sebagai “sesuatu” yang betul-betul “penting” dan benar-benar “dibicarakan”. Street art, sebagaimana banjir, kemiskinan, dan kemacetan di Ibu Kota, adalah kenyataan sosial juga kultural yang ada di sekitar kita. Ia hadir sebagai fenomena sehari-hari yang luput untuk dibicarakan sebagai kenyataan yang signifikan. Padahal street art ada beberapa meter saja dari rumah kita. Street art ada di sisi kiri dan kanan rute perjalanan kita menuju tempat kerja. Street art ada di tembok-tembok WC umum, di gang-gang sempit, dinding-dinding fly over, juga di pilar-pilar terlantar monorail. Kita barangkali sering melihatnya sekilas dari balik kaca mobil, dari balik jendela TransJakarta, dari balik helm yang kita kenakan. Street art hadir di tengah masyarakat, di ruang-ruang tak bertuan, di tempat-tempat yang dilupakan.
Salah satu pelaku street art yang karya-karyanya kerap hadir di sekitar kita adalah Bujangan Urban alias Jablay. Ia aktif berkarya sejak menempuh pendidikan desain grafis pada awal tahun 2000. Bujangan Urban juga telah terlibat dalam banyak pameran (di antaranya adalah Pameran Tunggal Bujangan Urban, Yang Sombong Dimakan Djaman Yang Songong Dimakan Teman, RURU Gallery, 2008 dan Zona Pertarungan, Jakarta Biennale 2009) serta berbagai proyek seni kolaboratif (seperti Berbeda Merdeka 100% dan ARTCO). Kini ia aktif mengelola Gardu House, sebuah komunitas grafis yang terbuka pada berbagai gagasan artistik dan isu-isu sosial di wilayah urban.
Karakter yang kuat pada karyanya dapat dilihat melalui beberapa aspek. Pertama, penggunaan teks yang sangat dominan. Kedua, kehadiran garis yang tegas, rumit, dan utuh. Ketiga, penggunaan warna-warna cerah yang menyolok mata. Ketiga elemen ini selalu hadir dalam karya-karyanya, terlepas dari medium yang ia gunakan: tembok kota, dinding bangunan, sebuah helm, sebuah mobil tua, dan sebagainya. Singkatnya, karya-karya Bujangan Urban adalah sebuah bentuk kesetiaan terhadap semangat grafis psychedelic. Sebuah pilihan artistik yang akhir-akhir ini mulai banyak ditinggalkan dan dilupakan.
Teks dalam karya-karya grafis Bujangan Urban juga menyimpan banyak kejutan. Kata dan kalimat yang digunakan tidak selalu mudah untuk dipahami. Namun pada umumnya, teks-teks Bujangan Urban kerap berbicara tentang nasihat kepada siapapun (khususnya seniman dan pelaku seni) untuk selalu menjauhi sikap sombong. Kalimat-kalimatnya menyimpan pesan yang moralis dan normatif, tetapi dihadirkan dengan pilihan kata yang aneh, kadang gak nyambung, sehingga justru mengundang tawa dan senyum yang getir. Humor ganjil pada teks-teks karya Bujangan Urban juga dilengkapi oleh elemen grafis yang kerap kali hadir, yaitu grafis floral (bunga matahari, sulur-sulur daun) yang sangat berkarakter. Karya-karya Bujangan Urban penuh oleh detail yang rumit.
Kuatnya karakter grafis yang terdapat pada karya-karyanya membuat banyak pelaku street art muda tergoda untuk menggambar dengan pola yang sama. Tidak banyak street artists di Indonesia yang memiliki identitas grafis yang khas dan otentik. Di waktu yang akan datang dunia street art Indonesia tentu menghadapkan kehadiran para street artists yang tidak sekadar menyimpan karakter yang kuat, tetapi juga memiliki kualitas grafis yang baik dan menaruh perhatian pada permasalah sosial di sekitarnya.
Ibnu Rizal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

HTML/JavaScript

html